A. Biografi Abu Bakar As-Shiddiq

Nama lengkap Abu Bakar As-Shiddiq adalah Abdullah Ibn Abi Quhafah al-Taimiy. Sebelum masuk Islam ia bernama ‘Abd. Al-Ka’bah, kemudian setelah ia memeluk Islam nama tersebut diganti oleh Rasulullah dengan Abdullah yang Akrab dipanggil dengan Abu Bakar. Ada pendapat yang mengatakan bahwa gelar tersebut melekat sebagai nama penggilan karena beliau termasuk orang yang mula-mula memeluk Islam.

Sedangkan gelar ash-shiddiq merupakan julukan yang diberikan kepadanya karena ia termasuk orang pertama membenarkan peristiwa Isra Mi’raj Nabi pada saat sejumlah masyarakat Arab tidak mempercayainya karena mengukur peristiwa tersebut dengan logika murni.

Abu Bakar dilahirkan pada tahun 573 M. (dua tahun setelah kelahiran Rasulullah). Ia termasuk golongan orang yang memeluk Islam tanpa banyak pertimbangan. Sebelum memeluk Islam, ia merupakan seorang saudagar kaya yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dikalangan bangsa Arab. Namun setelah ia memeluk Islam, perhatiannya sepenuhnya dicurahkan kepada Islam sehingga aktivitas perdagangan yang dilakukannya hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selain daripada itu, beliau juga dikenal sebagai orang yang jujur dan dermawan serta senang beramal untuk kepentingan perjuangan Islam. Bukti kedermawanan tersebut sebagaimana dilukiskan dalam sejarah bahwa ketika Rasulullah SAW. Mempersiapkan pasukan menuju Tabuk, Abu Bakar menyumbangkan semua harta yang dimilikinya dan tidak ada lagi yang tersisa.

Ketika terjadi peristiwa hijrah, Abu Bakar merupakan sahabat yang setia mengawal perjalanan Nabi hingga tiba di Madinah. Penderitaan yang dialaminya dalam peristiwa tersebut serta ancaman maut yang mengintainya setiap saat tidak pernah menyurutkan semangat kesetiaannya terhadap Nabi SAW. Dan agama yang dibawanya. Demikian pula, Abu Bakar senantiasa ikut bertempur dalam hampir semua peperangan bersama Rasulullah.

B. Proses Pengangkatan Abu Bakar Sebagai Khalifah

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa setiap makhluk yang bernyawa pasti mengalami kematian, tak terkecuali kekasih-Nya sendiri yang bernama Muhammad SAW (QS 3: 144). Namun kematiannya ternyata disikapi dengan emosional oleh sahabat-sahabatnya yang tidak percaya akan kematian Nabinya, seakan mereka lupa bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia seperti mereka pula. Abu Bakar dengan imannya yang hampir mendekati sempurna tampil sebagai pemecah kekalutan sekaligus menebarkan ketentraman kaum muslimin saat itu dengan membacakan firman Allah SWT QS Al-Imran (3): 144 sebagai berikut:

Terjemahannya:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

Ayat itu merupakan bentuk penyadaran yang dilakukan Abu Bakar untuk menghilangkan keragu-raguan atas wafatnya Rasulullah SAW. Abu Bakar nampaknya sangat memahami kondisi spritual kaum muslimin saat itu terutama para sahabat. Sehingga pendekatan retorika yang digunakan adalah pendekatan nash Al-Qur’an, apalagi pendekatan ditopang oleh pengetahuan para sahabat tentang Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup umat Islam.

Setelah Abu Bakar melantunkan ayat tersebut, Umar Ibn Khattab pun tersungkur dan menyadari kekeliruannya ternyata Muhammad saw adalah sama dengan Nabi-nabi sebelumnya yang mempunyai hak kematiannya. Demikian juga dengan para sahabat yang lain seperti Ibn Abbas yang tersentak kesadarannya jika ayat itu pernah diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.

Kesadaran para sahabat atas wafatnya Nabi Muhammad SAW tidak menyebabkan mereka terlalu larut dalam kedukaan. Mereka pun menyadari bahwa saat ini tidak ada lagi wahyu yang akan turun dan tidak ada lagi hadist yang terbit dari perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan yang tersisa hanyalah iman dan menjadi harta diri yang tak ternilai harganya, bahkan kelak menjadi pemicu dan pemacu keberhasilan perjuangan kaum muslimin dalam mengembangkan syiar agamanya.

Naluri ketergantungan pada sesuatu yang suprioritas atas dirinya mendorong kaum Anshar untuk mengambil prakarsa pembentukan khilafah dengan menetapkan salah seorang dari mereka sebagai khalifah atau pengganti peran Nabi SAW. Dalam mengatur Madinah dan upaya pengembangan syiar Islam.

Sungguh menarik prakarsa pembentukan khilafah justru atas inisiatif kaum Anshar yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj merupakan penduduk asli Madinah. Kondisi demikian disebabkan oleh dua faktor, yaitu pertama, kaum Anshar adalah penduduk asli Madinah yang banyak menolong Nabi SAW. Dan kaum muslimin dari Mekkah. Sedangkan faktor kedua adalah sense of crisis (kepekaan terhadap Krisis) yang dimiliki kaum Anshar dalam menyikapi kevakuman kepemimpinan. Kaum Anshar nampaknya menyadari sepenuhnya bahaya dari sebuah kevakuman yaitu hilangnnya kontrol atau kendali atas pengaruh syiar Islam pada diri kaum muslimin yang terbesar didalam berbagai suku di kota Mekkah, Madinah dan sebagian kecilnya Jazirah Arab. Ketika kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah terjadi perdebatan tentang calon khalifah. Masing-masing mengajukan argumentasinya tentang siapa yang layak sebagai khalifah.

Selanjutnya Abu Bakar As-Shiddiq menawarkan pola dualisme kepemimpinan sekedar mewujudkan keadilan di antara keduanya dan demi menjaga persatuan umat Islam. Semula pendapat ini diterima oleh kaum Anshar, namun Umar bin Khattab tidak menyetujui adanya dualisme kepemimpinan di kalangan suku Arab, karena Nabinya bukan berasal dari kaum Anshar. Pendapat Umar bin Khattab mendapat perlawanan keras dari al-Hubab bin al-Munzir bin al-Jamur (kaum Anshar), dan sempat terjadi perkelahian kecil diantara keduanya.

Di tengah perdebatan tersebut, Abu Bakar mengajukan dua calon yaitu Abu Ubaidah bin Jahrah dan Umar bin Khattab. Pengajuan dua calon ternyata menimbulkan kegaduhan dan perselisihan karena diantara keduanya terdapat perbedaan kualitas, terutama menyangkut wibawa dan kedudukan.

Tetapi Umar bin Khattab tidak membiarkan perselisihan itu terus terjadi, maka dengan suaranya yang lantang beliau membaiat Abu Bakar sebagai khalifah yang diikuti oleh Abu Ubaidah. Kemudian proses pembaitan terus berlanjut seperti yang dilakukan oleh Basyir bin Sa’ad beserta pengikutnya dan kaum muslimin dari suku Aus.

Proses pembaitan Abu Bakar As-Shiddiq  sebagai khalifah ternyata tidak sepenuhnya mulus karena ada beberapa orang yang belum memberikan ikrar seperti Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Muthalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin al-Awwam bin al-As, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amir, Salman al-farisi, Abu Zar al-Gifari, Ammar bin Yasir, Bara’bin Azib dan Ubai bin Ka’ab. Telah terjadi pertemuan sebagian kecil kaum Anshar dengan Ali bin Abi Thalib di rumah Fatimah mereka bermaksud membaiat Ali, dengan anggapan Ali lebih patut menjadi khalifah karena Ali berasal dari Bani Hasyim yang berarti Ahlulbait Rasulullah saw.

Keengganan Ali bin Abi Thalib serta kemungkinan adanya segelintir kaum Muhajirin dari Bani Hasyim ditepis sebagian ahli sejarah dengan kesaksian Sa’ad bin Zaid tentang tidak adanya orang yang tertinggal dalam proses pembaitan Abu Bakar sebagai khalifah.

Setelah Abu Bakat terpilih menjadi khalifah, Abu Bakar kemudian menyampaikan pidato yang memuat pernyataan antara, bahwa :
1.Dia mengakui bahwa dirinya bukanlah orang terbaik.
2.Dia harus dibantu hanya selama dirinya berbuat baik dan harus  diluruskan bila dia berbuat tidak baik (in asa'tu).
3.Dia akan memberikan hak setiap orang tanpa membedakan yang kuat  dengan yang lemah.
4. Ketaatan kepadanya tergantung pada ketaatannya kepada Allah.

Dijumpai fenomena menarik dari proses pembaitan Abu Bakar, bahwa isu menjaga persatuan dan menghindarkan perpecahan di kalangan umat Islam saat itu menjadi argumentasi Abu Bakar untuk meyakinkan kekhalifahannya. Argumentasi ini cukup efektif karena kondisi sosial umat Islam saat itu di ambang krisis persatuan. Hal itu ditandai dengan munculnya orang-orang murtad, keengganan sejumlah suku membayar zakat dan pajak.  

C. Perkembangan Islam Masa Pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq

Masa kakhalifahan Abu Bakar merupakan masa kritis perjalanan syiar Islam karena dihadapkan sejumlah masalah seperti ridat atau kemurtadan dan ketidaksetiaan. Beberapa anggota suku muslim menolak untuk membayar zakat kepada khalifah untuk Baitul Mal (perbendaharaan publik). Kemudian masalah berikutnya adalah munculnya beberapa kafir yang menyatakan dirinya sebagai Nabi, serta sejumlah pemberontakan-pemberontakan kecil yang merupakan bibit-bibit perpecahan.

Semasa hidupnya, Rasulullah saw pernah mengirimkan satu ekspedisi ke Syria di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, putera dari Zaid bin Harits ra yang gugur pada perang Mut’ah di tahun 8 Hijriah. Pengiriman ekspedisi ini sempat diusulkan para sahabat untuk ditarik kembali ke Madinah guna membantu mengatasi masalah dalam negeri seperti memerangi orang-orang murtad, orang-orang yang enggan membayar zakat dan memadamkan pemberontakan-pemberontakan kecil.

Namun usulan ini ditolak dengan tegas oleh Abu bakar karena pengiriman ekspedisi ini merupakan amanah dari Rasulullah saw. Sikap tegas yang ditunjukkan oleh Abu Bakar kelak membuahkan hikmah tersendiri bagi usaha penyelesaian konflik sosial di dalam negeri.

Selama 40 hari berperang melawan orang-orang Romawi di Syria, akhirnya ekspedisi usamah meraih kemenangan. Keberhasilan ini menimbulkan opini positif bahwa Islam tetap jaya, tidak akan hilang seiring dengan wafatnya Rasulullah saw. Akhirnya satu persatu suku-suku yang semula meninggalkan Islam kembali memeluk Islam dan loyal terhadap kekhalifahan Abu Bakar al-Shiddiq.

Kini persoalan dalam negeri yang terakhir dan perlu segera dipadamkan adalah pemberontakan yang digerakkan oleh nabi-nabi palsu seperti Aswad ‘Ansi dari Yaman, Tsulaiha dari suku bani Asad di Arab Utara, Sajah binti al Harits di Suwaid,dan Musailamah al-Kadzdzab, anggota suku Arab Tengah.

Abu Bakar mengirim Khalid bin Walid ra untuk manumpas pemberontakan-pemberontakan tersebut dan berhasil memadamkannya. Demikian juga terhadap gerakan kemurtadan dan suku-suku yang enggan membayar zakat dapat diselesaikan dengan baik oleh Abu Bakar melalui perantaraan panglima perangnya, Khalid bin Walid ra.

Setelah permasalahan besar dalam negeri dapat diatasi dengan baik, abu Bakar memfokuskan pada kebijakan luar negeri yakni menyelamatnya suku-suku Arab dari penganiayaan pemerintahan Persia. Untuk misi ini, Abu bakar kembali mengirimkan Khalid bin Walid ra dengan pasukannya ke Iraq dan akhirnya bertempur dengan tentara Persia di Hafir, pada tahun 12 H (633 M).

Pada 15 Dzulqa’idah 12 H, Khalid bin Walid ra, mengalahkan musuhnya secara total dan menduduki seluruh Iraq Selatan. Ekspedisi berikutnya adalah ke Syria membantu perjuangan Usamah bin Zaid untuk mengamankan daerah perbatasan dari serangan orang-orang Romawi. Karena perbatasan merupakan jalur-jalur perdagangan bangsa Arab.

Sekitar bulan Rabi’uts-Tsani 13 H yang bertepatan dengan 31 Juli 634 M. Akhirnya kekaisaran Romawi dapat ditumbangkan melalui perang Ajnadin. Padahal dari sekian banyak pertempuran-pertempuran pasukan muslim jauh lebih kecil dari pasukan lawan. Keberhasilan pasukan muslim mengalahkan pasukan lawan tidak terlepas dari spiritual yang tinggi kaum muslimin seperti tersirat dalam opsi yang disampaikan Khalid bin Walid ra maupun utusan-utusan muslim lainnya kepada Kaisar Persia dan Panglima Perang Romawi.

Apa yang dilukiskan Khalid bin Walid ra tentang kondisi mental spritual pasukan muslim memang tepat, karena mati syahid adalah dambaan setiap muslim dengan ganjaran surga dan kekal didalamnya, apalagi kaum muslimin saat itu yang berada dalam barisan pasukan muslim memiliki kualitas keimanan yang tinggi dengan kesadaran akhirat yangtak tertandingi, sehingga kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan melainkan sesuatu yang didambakan karena yakin akan adanya hari perhitungan atas segala amal yang diperbuat dan kehidupan akhirat setelah kehidupan di dunia ini.

Di saat kemenangan demi kemenangan diraih pasukan muslim di Ajnadin. Abu Bakar dikabarkan jatuh sakit tepatnya pada tanggal 7 Jumadil Akhir, 13 H, dan akhirnya meninggal dunia setelah menderita sakit selama dua minggu. Beliau meninggal dunia pada usia 61 tahun pada hari Selasa, 22 Jumadil akhir, 13 H (23 Agustus 634 M).

Meskipun Abu Bakar menjabat khalifah relatif singkat yakni dua tahun tiga bulan, beliau berhasil membina dan mempertahankan ekstensi persatuan dan kesatuan umat Islam yang berdomisili di berbagai suku dan bangsa. Wibawa umat Islam pun semakin terangkat dengan ditaklukannya dua imperium terbesar dunia saat itu, yaitu Romawi dan Persia. Kedua imperium ini menjadi poros kebudayaan dan peradaban dunia. Karena penaklukan atau peletakan kedaulatan umat Islam di kedua imperium itu menjadi aset yang sangat berpengaruh bagi pembangunan peradaban dunia Islami. Hal itu terbukti dengan peradaban Islam yang pernah jaya berabad-abad lamanya di Jaziarh Arab dan benua Eropa.

Implikasi sejarah semacam ini tentu tidak teranalisis pada masa kekhalifahan Abu Bakar, karena beliau berperang bukan dengan tujuan kekuasaan melainkan semata-mata menegakkan syariat Islam dan menciptakan kedamaian di mana pun umat Islam berada, pekerjaan besar semacam ini tentu menguras energi tenaga dan pikiran yang sangat besar. Usia Abu Bakar yang mencapai 60 tahun ketika dilantik menjadi khalifah, dan kerja keras yang dilakukannya beresiko bagi kesehatan fisiknya, Abu Bakar pun jatuh sakit dan meninggal dunia.

Prestasi lainnya adalah upaya pengumpulan Qur’an. Dari dialog Umar bin khattab dengan Abu bakar bahwa begitu banyak para huffaz Qur’an yang syahid di medan pertempuran sehingga dikhawatirkan oleh Umar dapat merusak kelestarian Qur’an itu sendiri di masa yang akan datang.

Melalui kesaksian sejumlah sahabat yang pernah mendapat pengajaran Al-Qur’an dari Rasulullah saw, dikumpulkan dan disalin kembali oleh Zaid bin Tsabit ra atas instruksi khalifah Abu Bakar. Akhirnya Qur’an terhimpun dalam bentuk mushaf yang dikenal dengan nama Mushaf al-Imam (Mushaf Usman).

Dari sekian prestasi yang terukir pada masa pemerintahan Abu Bakar, maka jasa terbesar Abu Bakar yang dapat dinikmati oleh peradaban manusia sekarang adalah usaha pengumpulan Qur’an yang kelak melahirkan mushaf Usmani dan selanjutnya menjadi acuan dasar dalam penyalinan ayat-ayat suci Al-Qur’an hingga menjadi kitab Al-Qur’an yang menjadi pedoman utama kehidupan umat Islam bahkan bagi seluruh umat yang ada di permukaan bumi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abul A’la al- Maududi,Khilafah dan kerajaaan,Bandung: Litera antar Nusa,1997
Abiyan, Amir, Drs., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Departemen Agama RI 1990.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Fachrudin, Fuad Mohd. Dr., Perkembangan Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
Irfan Mahmud Ra’anah, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar bin Khattab, Pustaka firdaus, 1990,
Haekal, Muhammad Husein, Biografi Abu Bakar As Siddiq, Jakarta: Litera Antar Nusa, 1995.
Salihima,Syamsuez Kebijakan Umar bin Khattab Dalam Pemerintahan Makassar: Yayasan Pendidikan, 2005
Sunanto Musyrifah,Sejarah Islam Klasik ,Bogor: Kencana,2003
Syalabi, A, Prof. Dr. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1990.
Umam, Chatibul, H, Prof. DR., Sejarah Kebudayaan Islam, Kudus: Menara Kudus.2003.
Yatim, Badri, Dr. M. A, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Hoesan Oemar Amin,kultur Islam,Jakarta: Bulan Bintang,1994