Diskursus yang banyak dan hangat diperbincangkan pada abad pertama Hijri adalah masalah dosa besar dan pembuat dosa besar. Pertanyaan tentang hal itu banyak diajukan kepada para alim ulama. Hasan al-Bashri (692-728 M) seorang ulama besar di Irak, pada suatu kesempatan mendapat pertanyaan dari salah seorang yang turut mendengar pengajiannya. Sebelum sempat menjawab, seorang yang bernama Washil bin Atha’ (699-748) menyatakan: “pembuat dosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir”. Kemudian ia meninggalkan majelis gurunya dan membentuk majelis sendiri untuk mengembangkan pendapatnya.

Sejarah Munculnya Aliran Mu'tazilah

Aksi Washil bin Atha meninggalkan gurunya karena pebedaan paham yang menimbulkan lahirnya Mu’tazilah yang pada awalnya lahir sebagai reaksi terhadap paham-paham teologi yang dilontarkan oleh golongan Khawarij dan Murji’ah. Nama Mu’tazilah yang diberikan kepada mereka berasal dari kata i’tazala yang berari “mengasingkan diri”. Menurut suatu teori, nama itu diberikan atas dasar ucapan Hasan al-Bashri setelah melihat Washil memisahkan diri Hasan al-Bashri diriwayatkan memberi komentar sebagai berikut i’tazala anna (ia mengsasingkan diri dari kami). Orang-orang yang mengasingkan diri disebut Mu’tazilah. “Mengasingkan diri” bisa berarti mengasingkan diri dari majelis pengajian Hasan al-Bashri, atau mengasingkan diri dari pendapat Murji’ah dan Khawarij.
Baca Juga : Paham Murji'ah dan Sejarah Kelahirannya
Menurut al-Thabari dan al-Fuda, kata i’tazala dan Mu’tazilah sudah dipakai pada waktu pertikaian politik yang terjadi di zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib. Mereka yang tidak mau turut campur dalam pertikaian politik, mengasingkan diri dan memusatkan perhatian pada ibadah dan ilmu pengetahuan.

Menurut al-Mas’udi- sebagaimana dikutip Nasution golongan ini disebut kaum Mu’tazilah karena mereka mengatakan bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara ke dua posisi itu. Menurut versi ini, golongan ini disebut kaum Mu’tazilah, karena membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.

Dalam buku The Concise Encyelopedia of Islam dikatakan bahwa aliran ini muncul akibat kontroversi setelah perang saudara antara pihak Ali bin Abu Thalib dan pihak Zubayr dan Thalhah. Juga sebagai reaksi terhadap keabsolutan pandangan hitam di atas putih gerakan kharijiyyah.

Asumsi-asumsi di atas, memberikan indikasi bahwa telah terjadi polemik di kalangan ilmuan tentang sejarah timbulnya aliran Mu’tazilah. Ada kalangan yang megaitkan dengan peristiwa pertikaian politik dan ada yang mengaitkan dengan peristiwa Washil bin Atha’.

Olehnya itu, dalam pandangan penulis, Mu’tazilah harus dilihat dari dua sudut tinjauan, yaitu Mu’tazilah sebagai gerakan atau sikap politik dan Mu’tazilah sebagai paham teologi. Atau dalam bahasa Ahmad Amin, ada Mu’tazilah awal dan ada Mu’tazilah sebagai Washil. Mu’tazilah awal menjauhi pertikaian politik antara Ali dengan kelompok Zubayr, Thalhah, Aisyah dan pertikaian Ali dengan Muawiyah. Sedangkan Mu’tazilah Washil menjauhi pendapat yang bertikai di zamannya antara Khawarij dan Murji’ah.Dari asumsi ini, maka penulis dapat mengatakan bahwa semua pandangan yang berbicara tentang sejarah timbulnya aliran Mu’tazilah adalah benar.

Dalam tulisan ini, penulis hanya membahas tentang Mu’tazilah sebagai paham teologi yang muncul dari peristiwa pertentangan Hasan al-Bahsri dengan washil bin Atha tentang pelaku dosa besar. Selanjutnya siapa sebenarnya yang memberikan nama Mu’tazilah kepada Washil dan pengikut-pengikutnya tidak pula jelas. Ada yang berpendapat golongan lawanlah yang memberikan nama itu kepada mereka. Namun, jika melirik ucapan-ucapan kaum Mu’tazilah itu sendiri, maka ada informasi-informasi yang dapat memberi kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberikan nama itu kepada golongan mereka, atau mereka setuju dengan nama itu.

Selain itu, golongan ini juga dikenal dengan nama yang lain. Misalnya menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-Adl dalam arti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan, dan juga Ahl al-tauhid wa al-Adl yakni golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ke-Esa-an murni.

Ajaran-Ajaran Mu'tazilah

Kalangan Mu’tazilah mendasarkan aliran mereka ini pada lima prinsip yakni tauhid (keesaan Tuhan), adl (keadilan, al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman), al-manzilah bayn manzila tayn (satu posisi di antara dua posisi) dan Amr bin al-Ma’ruf wa al-Nahy an Munkar (menegakkan kebajikan dan menghentikan kemungkaran).

Berdasarkan prinsip tauhid mereka mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan adalah satu dan tidak dapat dilepaskan dari esensi (zat) Tuhan. Sifat-sifat yang tersebut dalam Alquran, khususnya yang bersesuaian dengan nama-nama Tuhan, mestilah diyakini berada di dalam realitas yang absolut. Sesuatu yang absolut seharusnya tidak terbatas dan tidak terbagi-bagi yakni tunggal.

Berdasarkan prinsip al-adl, maka mereka mempertegas statmennya bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak, yang merupakan keniscayaan dari keadilan Tuhan. Menurut mereka, Tuhan mestilah berbuat sesuatu yang terbaik (shalah atau ashlah) terhadap dunia yang diciptakannya. Segala perbuatan dan kehendak Tuhan tidak bisa bertentangan dengan paham keadilan. Inilah titik tolak pemikiran rasional mereka tentang pendapat-pendapat keagamaan.

Dengan prinsip ketiga, yakni al-wa’ad wa al-wa’id yang dimaksudkan adalah syurga dan neraka. Menurut keyakinan mereka bahwa jika seseorang masuk neraka , semestinya ia tidak akan menuju ke sana dengan alasan sifat Rahman Tuhan atau adanya intervensi Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan tidak adil kalau ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat.

Prinsip keempat, yakni sebuah posisi di antara dua posisi. Prinsip ini pada satu sisi merupakan metode filsafat mereka, namun pada sisi lain, prinsip ini merupakan wawasan politik dalam kontroversi kesejarahan. Prinsip ini merupakan posisi menengah bagi pembuat dosa besar, tidak posisi mukmin dan tidak kafir. Bukan posisi syurga, bukan pula posisi neraka.
Baca Juga : Paham Ahlussunnah Wal Jamaah
Prinsip kelima, sebuah prinsip yang ditunjukkan untuk pembentukan corak masyarakat Islami. Hal ini tidak berbeda dengan golongan yang lain. Perbedaannya antara golongan tersebut pada bentuk pelaksanannya. Menurut Mu’tazilah, perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu dengan kekerasan.
Menurut Harun Nasution, uraian di atas mencerminkan bentuk rasionalisme, tetapi bukan rasionalisme yang menentang dan menolak agama serta tidak percaya kepada kebenaran dan keabsahan wahyu, malahan rasionalisme yang tunduk dan menyesuaikan diri dengan kebenaran wahyu. Namun dalam pandangan dari uraian di atas juga tercermin bentuk ketidak-rasionalan kaum Mu’tazilah, khususnya pada prinsip kelima.

Menurut al-Khayyat sebagaimana dikutip Harun Nasution-seseorang belum berhak disebut sebagai penganut Mu’tazilah sebelum benar-benar menerima secara keseluruhan ushul al-khamsah yakni tauhid, keadilan, janji baik dan ancaman, tempat di antara dua tempat dan amar ma’ruf nahi munkar.