A. Riwayat Hidup Immanuel Kant
Immanuel Kant lahir pada tanggal 22 April 1724 di Koningsberg,
Rusia Timur, Jerman. Kant adalah anak ke empat dari keluarga pembuat pelana
keturunan Skotlandia dan merupakan penganut yang taat kepada agama Kristen
Protesten sekte Pietis. Ajaran sekte yang lebih menekankan orientasi etis dari
pada teologi ini nantinya sangat kental dalam mempengaruhi corak pemikiran
filsafat Kant. Riwayat Kant pasca kelahiran hingga masa keremajaannya tidak banyak
dipublikasikan kecuali hanya sesekali karena keperluan mengajar di desa
tetangga. Ketika menginjak masa kuliah barulah terdapat keterangan bahwa
Kant belajar filsafat, matematika, dan teologi di Universitas Koningsberg. Dalam bidang filsafat Kant dididik dalam suasana rasionalisme yang memang
merajalela di universitas universitas Jerman kala itu.
Setelah menyelesaikan kuliah, Kant menjadi tutor di beberapa keluarga
Aristokrat dan kemudian diangkat menjadi dosen di almamaternya tersebut (universitas
Koningberg). Ia menjadi dosen selama lima belas tahun, ditengah kesibukannya
mengajar Kant menyempatkan dirinya untuk menulis tentang metafisika, logika,
etika, dan sains alam. Dalam sains alam, sebenarnya Kant memberikan konstribusi
yang besar khususnya membahas tentang fisika, astronomi, geologi, dan
meteorology, namun ketika itu tidak banyak diketahui.
Pada tahun 1770 Kant diangkat menjadi guru besar logika dan
metafisika di Koningsberg. Kemudian pada tahun 1781 Kant menerbitkan karya terpentingnya,Certique
of Pure Reason. Karya ini, menurut Lewis White Beck membuka bidang-bidang studi
dan masalah-masalah baru pada masa ketika kebanyakan orang bersiap untuk
menikmati masa pensiun.Namun, bagi Kant masa-masa ini ialah masa dimana masa
kerja kerasnya dimulai dan pada akhirnya mengantarkan Kant pada masa puncak
prestasi yang tak tertandingi ketika itu.
B. Pemikiran Immanuel Kant
Perjalanan Kant sebagai seorang filosof dibagi menjadi dua periode,
yakni pra kritis dan periode kritis. Ketika zaman kritis, Kant menganut
pendirian rasionalistis-dogmatisme yang yang dilancarkan oleh wolf dan
kawan-kawannya. Hal ini tak heran, karena di Universitas Koningsberg Kant didik
dalam suasana rasionalisme dan memang ketika itu rasionalisme merajalela dengan
kuat di universitas-universitas di Jerman. Rasionalisme-dogmatis ialah filsafat
yang mempercayai secara mentah-mentah terhadap kemampuan rasio.
Keadaan diatas berubah secara gradual ketika Kant bertemu dengan
pemikiran empirisme David Hume. Kant menyatakan sendiri bahwa Hume lah yang
membangunkannya dari tidur dogmatis. Namun ini tak berlansung lama, sebab ia
mendapat obat tidur kembali, bagi Kant, Hume adalah musuh yang harus
ditentang, disini pengaruh Rousseau terlihat dominan. Priode inilah yang kemudian
disebut priode kritis. Pada masa priode kedua ini, Kant justru merubah secara
radikal wajah filsafat dengan gagasannya. Kritisme, menurut Kant ialah filsafat
yang memulai perjalanannya dengan menyelediki kemampuan dan batasan-batasan
rasio terlebih dahulu. Kritisme oleh Kant dipertentangkan dengan
rasionalisme-dogmatis sekaligus empirisme-skeptis.
1. Kritik Immanuel Kant terhadap Sistem Pengetahuan
Immanuel Kant (1724-1804) yang hidup di abad modern dalam sejarah
filsafat mewarisi logika tradisional yunani yang telah dikembangkan secara
kritis oleh filosof-filosof sebelumnya. Jika dalam filsafat abad tengah,
Skolastisisme, logika lebih digunakan sebagai instrument untuk menguatkan
ajaran-ajaran agama dan tidak melakukan kritik terhadap logika yang dipakainya
tersebut, maka Kant, dengan mgnkritik bangunan logika sejak Yunani, yakni dari
rasionalisme eksterem Descartes sampai empirisme Humean, menganggap logika
sebagai bentuk kritik baik terhadap pengetahuan maupun agama.
Tujuan utama dari filsafat kritis Kant adalah untuk menunjukkan, bahwa
manusia bisa memahami realitas alam (natural) dan moral dengan menggunakan akal
budinya. Pengetahuan tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-hukum
yang bersifat apriori, yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman
inderawi. Pengetahuan teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori
yang digabungkan dengan hukum-hukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral
diperoleh dari hukum moral yang sudah tertanam di dalam hati nurani manusia.
Kant menentang empirisme dan rasionalisme. Empirisme adalah paham yang
berpendapat, bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi,
dan bukan akal budi semata. Sementara rasionalisme berpendapat bahwa sumber
utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat apriori, dan bukan pengalaman
inderawi. Bagi Kant kedua pandangan tersebut haruslah dikombinasikan dalam satu
bentuk sintesis filosofis yang sistematis.
2. Sistem dan Metode Ilmu Yang Ditawarkan Immanuel Kant
Filsafat Kant diarahkan untuk mengkombinasikan pandangan Rasionalime dan
Empirisme. Pertama menyatakan bahwa ilmu pengetahuan muncul dari rasio dengan
mengabaikan pengalaman inderawi (apriori) sementara yang kedua menyatakan
sebaiknya yakni ilmu pengetahuan hanya didapat dari pengalaman inderawi dengan
mengabaikan rasio (aposteriori). Para rasionalis menganggap bahwa manusia bisa
mendapat pengetahuan dengan analitis apriori sementara kaum empirisme
mengatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui sintesis aposteriori.
Namun pemikiran Kant ialah diantara apriori dan aposteriori, ia menawarkan
adanya sintesis apriori atau pengetahuan manusia diperoleh dengan proses
sintesis antara apriori dan apesteriori. seperti yang dijelaskan
diatas bahwa apriori adalahpengetahuan atau unsure-unsur yang terlepas
dari segala pengalaman, sementara aposteriori adalah pengetahuan atau
unsur-unsur yang berasal dari pengalaman, baik inderawi sendiri atau
inderawi orang lain.
Immanuel Kant menyatakan bahwa pengetahuan manusia tidak melebihi dari
pengalaman inderawinya. Hali ini bukan berarti bahwa pengetahuan hanya dari
pengalaman, namun sintesis antara aperiori dan aposteriori. Sebab, menurutnya,
dalam setiap proses mengetahui kedua unsur tersebut muncul bersamaan. Indera menangkap
sensai dari objek sementara “ruang dan waktu” yang bersifat apriori memberikan
kemungkinan manusia untuk mengetahuinya.Terkait dengan objek Kant
membaginya menjadi dua, yakni apa yang berada dibalik objek (nomena) dan yang
menampakkan diri kepada kita (fenomena). Bagian yang terakhir inilah yang dapat
diketahui oleh manusia, bukannya “nomena” sebagaimana klaim para metafisis.
Untuk memperoleh pengetahuan rasional, Kant mengatakan rasio menempuh
tiga tahap refleksi. Pertama ialah tahap pengetahuan inderawi, sebagaiman
diutarakan diatas, bahwa pada tahap inderawi sudah terdapat sintesis antara
apriori dan aposteriori. Unsur apriori memainkan peranan bentuk dan unsur
apesteriori memainkan peranan materi. Unsur apriori adalah ruang dan waktu sementara
unsur apeteriori ialah sense dari fenomena yang ditangkap indera.
Tahap kedua ialah tahap akal budi. Kant membedakan antara akal budi dan
rasio. Akal budi bertugas untuk menciptakan orde antara data-data yang didapat
tahap inderawi. Bentuk linguistis pengetahuan akal budi adalah
proposisi-proposisi atau keputusan-keputusan, disinilah proposisi analistis
apriori dan sintesis aposteriori muncul. Namun yang dipermasalahkan Kant ialah
proposisi sintesis apriori, seperti dalam kalimat “segala kejadian ada
sebabnya”. Dalam kalimat itu, predikat menambah hal baru pada subjek sehingga
masuk kategori sintesis, sementara predikat itu tidak didapat dari proses
pengalaman dan tidak memerlukan analisis subjek. Menurut Kant, sintesis apriori
ini mungkin karena dalam akal budi kita terdapat unsure-unsur apriori yang
disebut `kategori-kategori` yang bersintesis dengan data inderawi
(aposteriori).
Kategori-kategori itu dibagi Kant menjadi empat bagian yang
masing-masing terdiri dari tiga kategori, yakni kuantitas: (1) Kesatuan
(unity), kemajemukan (plurality), keseluruhan (totality). (2) Kualitas:
realitas, negesi, limitasi; (3) Relasi: substansi dan aksidensi, sebab akibat,
timbal balik; (4) Modalitas: kemungkinan (possibility), keberadaan
(exsistence), kepastian (necessity). Kesemuanya ini bersifat subjektif
sebagaimana ruang dan waktu.
Kedua belas kategori tersebut sejajar dengan dua belas putusan, yakni:
Semua kategori tersebut, jika digunakan pada sesuatu yang tidak alami
menurut Kant kita akan terkacaukan oleh ‘antinomi’ atau proposisi yang saling
bertentangan yang masing-masing jelas-jelas dapat dibuktikan. Kant menyajikan
empat antitomi tersebut yang masing masing terdiri dari tesis dan antitesis.
Pertama, tesis yang mengatakan “dunia memiliki permulaan waktu dan juga
terbatas dalam ruang” Antitesisnya mengatakan: “dunia memiliki permulaan waktu
dan juga terbatas dalam ruang”, ia tidak terbatas baik ruang maupun waktunya”.
Kedua, Membuktikan bahwa setiap substansi campuran ada yang terdiri dari
bagian-bagian sederhana dan ada yang tidak. Ketiga menyatakan ada dua jenis
kausalitas, yang pertama menurut hukum alam dan yang kediua hukum kebebasan;
antitesisnya menyatakan bahwa hanya ada satu yakni kausalitas hukum alam,
ke empat, membuktikan adanya entitas mutlak dan tidak mutlak.
Tahap ketiga ialah tahap rasio. Tugas rasio ialah menggabungkan
putusan-putusan dari akal budi menjadi pengetahuan. Jadi pengetahuan ialah
hasil sintesis dari keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh tahap akal budi. Dari
sini dihasilkan oleh orde argumen-argumen. Pada tahap ini, unsur -unsur
apesteriori tidak diterima secara lansung, melainkan secara tidak langsung dari
akal budi. Unsur apriori pada tahap ini adalah ide-ide yang mengatur
proposisi-proposisi menjadi argumentasi. Ide-ide ini hanyalah cita-cita yang
berguna untuk menjamin kesatuan dari segala bentuk pengetahuan kita. Kita tidak
akan puas dengan pengetahuan yang terpisah-pisah, maka pengetahuan yang khusus
akan memberi sumbangan dalam membentuk “gambaran” tertentu tentang materi.
Inilah pengetahuan teoritis murni. Ide-ide ini memang ide rasio namun
mereka bukanlah garapan rasio, sebab rasio hanya akan mendapatkan pengetahuan
sebatas pengalaman inderawi, sementara ketiga ide tersebut tidak. Ketiga ide
tersebut oleh Kant dimasukkan pada kategori-kategori kepercayaan :glaube” yang
akan ia bahas dalm buku kedua kritiknya, Critique of Practical Reason.
Proses reflektif diatas disebut dengan refleksi transendental, karena
mencari syarat-syarat terdalam atau syarat dari pengetahuan kita, sehingga
syarat itu bersifat mutlak dan perlu untuk mengetahui sesuatu. Selain itu dari
sini juga kita bisa mengetahui bahwa Kant lebih menekankan pada sisi subjek
(pelaku/rasio) dari pada objek. Subjek bersifat aktif sedangkan objek bersifat
pasif. Disinilah perbedaan Kant dengan filosof-filosof terdahulu (empirisme),
dan dengan inilah Kant menyatakan dirinya telah mengadakan “ Revolusi
Covernican”.
Sejak munculnya filsafat Kant ini, pengetahuan inderawi menjadi norma bagi
segala kegiatan pengetahuan kita, dan sebaliknya sejak itu pula kesahihan
metafisika dipertanyakan sedang kesahihan ilmu-ilmu alam dipertegah secara
filosofis.
B. Komparasi Pemikiran Pendidikan Al Ghazali dan Immanuel Kant
Jika diresapi dari uraian singkat filasafat Kant, maka ditarik pemahaman
bahwa filosafat kant telah mengajarkan kita untuk mendistorsi pengetahuan yang
hanya pada sesuatu yang bisa di indera, maka berarti jelaslah bahwa pengetahuan
islam yang kita yakini saat ini merupakan pengetahuan dari apa yang hanya
bias kita indera ataupun berdasarkan hasil pengamatan indera orang lain.
Seperti yang Kant utarakan bahwa penoumena bukan merupakan objek
pengetahauan dalam pengalaman kita tapi ia menjadi dasar bagi semua pengetahuan
kita, oleh karena itu, Islam noumena tidak akan pernah bisa menjadi objek
pengetahuan keislaman, tetapi bukannya ia tanpa makna karena bagaimanapun ia
menjadi dasar bagi semua pengalaman keislaman.
Pengetahuan keislaman kita apabila mau dirujuk adalah merupakan
pengetahuan yang kita peroleh dari mensintesiskan data- data dan
informasi dalam realitas keislaman, kita tidak akan pernah tahu bagaimana
sesungguhnya islam itu sendiri atau bagaimana Allah menginginkan islam yang
kita banggakan dan gembar gemborkan sebagaimana Allah kehendaki, maka sangat
ironislah kiranya apabila umat islam yang pemahaman keagamaan kita hanya
diperoleh dari pengetahuan sintesisme dunia noumena dan fenomena ini lalu
mengatakan bahwa ajaran (aliran) yang kita yakini saat ini merupakan aliran
yang paling benar dari aliran kepercayaan sesama kaum muslim, aliran- aliran
kepercayaan yang pada saat ini berkembang telah menjadi kelompok
yang mengatakan bahwa aliran mereka paling benar dan paling tinggi diantara
aliran kelompok lain, bahkan sering terjadi upaya kafi mengkafirkan antara
kelompok. Padahal apabila kita merunut dari teori Kant ini bahwa yang kita
pahami saat ini hanyalah hasil dari menyintesiskan data- data keislaman. Maka
sangatlah ironis mengatakan aliran kepercayaanku (NU, Muhamadiyah,
Salafiyah, Wahabiyah, Salafiyah, Sunni Syi’ah, Ahmadiyah dll) lah yang
paling benar. Dari sini pula kita bisa mengetahui bahwa pemikiran Kant Berjalan
bergandengan dengan apa yang Allah ajarkan dalam Al-Qur`an dan yang sering
dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SWA bahwa Kedamaian merupakan salah satu dari
ajaran Islam , tidak menganggap diri paling benar dan masih banyak hal
yang sangat relevan dari konsep Kant ini yang telah ada dalam ajaran agama yang
menurut kita membawa manusia pada keselamatan di dunia dan di akhirat.
Sementara pokok pemikiran Al Ghazali tentang pendidikan Islam, dapai
diuraikan sebagai berikut: Pertama, tujuan Pendidikan Islam. Dari hasil studi
terhadap pemikiran al-Ghazali, diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang
ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu: a) Tercapainya kesempurnaan
insan yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan b) Kesempurnaan insan
yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat. Dengan demikian, keberadaan
pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi
kesempurnaan hidup manusia dalam upaya membentuk mausia paripurna, berbahagia
didunia dan akhirat kelak. Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan
oleh imam al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan denga upaya
pendidikan yang melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara
utuh.
Kedua, materi Pendidikan Islam. Imam al-Ghazali telah mengklasifikasikan
meteri (ilmu) dan menyusunnya sesuai dengan dengan kebutuhan anak didik juga
sesuai dengan nilai yang diberikan kepadanya. Dengan mempelajari kurikulum
tersebut, jelaslah bahwa ini merupakan kurikulum atau materi yang bersifat
universal, yang dapat dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan. Hanya saja
al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak didik
Jadi relevansi pandangan al-Ghazali dengan kebutuhan pengembangan dunia
pendidikan Islam dewasa ini sangan bertautan dengan tuntutan saat ini, baik
dalam pengertian spesifik maupun secara umum. Secara spesifik misalnya pengembangan
studi akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat disanyangkan, materi ini
telah hilang dilembaga-lembaga pendiidkan. Jangankan disekolah yang berlabel
umum, disekolah yang berlambang Islam saja bidang studi yang satu ini sudah
tidak ada. Dengan demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali tentang
pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali tentang
Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu agama dan
ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara umum umat Islam jauh
tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah satu akibat
sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi seperti itu.
Ketiga, metode pendidikan Islam. Pandangan Al-Ghazali secara spesifik
berbicara tentang metode barang kali tidak ditemukan namun secara umum
ditemukan dalam karya-karyanya. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada
prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan
keyakinan dan pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang
menunjang penguatan akidah, Pendidikan agama kenyataanya lebih sulit
dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena, pendidikan agama menyangkut
masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh
karena itu usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang
agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali
bahwa kebenaran akal atau rasio bersufat sempurna maka agama, bagi murid
dijadikan pembimbing akal.
Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari
metode pendidikan lebih luas daripada apa yang telah dikemukakan diatas.
Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat berlangsungnya
proses pendidikan saja,
melainkan lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis guru itu sendiri
sebagai pelaksana dari penggunaan metode pendidikan. Nana Sudjana dan Daeng
Arifin mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin dengan baik
manakala antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang komunikatif.
Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan yang tepat sebagaimana
diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan koherensi dengan
pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini. Hal ini berarti
bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam Al-Ghazali dapat
diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam.
Bandung: Mizan, 2002.
Al-Ghazali. Mutiara Ihya’ ’Ulumuddin, Cet. XV. Terj. Irwan Kurniawan.
Bandung: Mizan, 2003.
Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, cet. 15,
1998.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: CV. Naladana,
2004.
Hardiman, Francis Budi, Kritik Ideologi: Menyikap Kepentingan
Pengetahuan Bersama
Kant, Immanuel, Critique of Pure Reason, London: Macmillan and CO, Jil.
I, 1881.
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian
Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis
dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Roswantoro, Alim “Logika Transendental Kant dan Relevansinya bagi
Humanitas
Russel, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat: dan Kaitannya dengan Kondisi
Sosio- Politik
Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat
Hukum Dalam Al-Qur’an. Cet. V. Jakarta: Penamadani, 2008.
Sudarminta, J., Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan,
Yogyakarta: Kanisius,Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada
Media Kencana, 2005.
Syukur, Fatah NC. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2010.
Tim Redaksi Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008.